Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah getol menggenjot pengembangan bioetanol sebagai campuran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin. Bahkan pada 2026 mendatang, ditargetkan campuran Bahan Bakar Nabati (BBN) bioetanol ke dalam BBM jenis bensin dapat mencapai 10% (E10).
Direktur Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengatakan program campuran bioetanol dilakukan setelah pemerintah sukses menjalankan program pencampuran BBN jenis biodiesel ke dalam minyak Solar sebesar 35% (B35).
Edi menjelaskan, saat ini roadmap penerapan mandatory bioetanol masih mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
Oleh sebab itu, saat ini Kementerian ESDM tengah menyusun revisi atas Peraturan Menteri ESDM tersebut. Dengan revisi ini, nantinya bioetanol akan dijadikan BBM non-Public Service Obligation (PSO) atau non-subsidi.
“Mandatory bioetanol diharapkan untuk non-PSO, sekarang kita biodiesel kan ada insentifnya, untuk bioetanol kita akan fokuskan pengembangan non PSO-PSO nya dan nanti akan dilakukan secara bertahap secara clustering dengan mempertimbangkan kesiapan produksi dan juga distribusi secara nasional,” kata Edi dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (20/12/2023).
Meski demikian, ia mengaku pengembangan bahan baku bioetanol di dalam negeri masih berkutat pada persoalan pasokan bahan baku. Pasalnya, saat ini pemerintah masih mengandalkan bahan baku seperti tebu atau gula untuk pembuatan bioetanol.
Sementara, bahan baku pembuatan bioetanol sejatinya tidak hanya terbatas pada komoditas tebu. Karena itu, pihaknya akan melihat potensi dari tanaman lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol pengganti tebu.
“Ke depan kita juga perlu mendiversifikasi bahan baku seperti sorgum kemudian singkong, jagung dan sebagainya. Seperti negara negara lain yang maju kan Amerika kemudian Brasil itu kan juga dengan tebu dan jagungnya. Sebenarnya kita negara tropis sangat mungkin dikembangkan tanaman lain,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, tak menampik pemanfaatan tebu sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol menjadi peluang yang cukup bagus, terutama bagi para petani tebu. Namun demikian, pemerintah juga perlu melihat potensi dari tanaman lainnya.
“Saya juga mendapatkan kabar dari kawan di NTT ada tanaman-tanaman kemiri juga yang itu bisa dan itu setelah kita konsultasikan di Kementerian Pertanian itu bagus juga, tinggal niat kita serius atau tidak,” kata Soemitro beberapa waktu lalu.
Senada, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, juga memandang bahwa bahan baku untuk pembuatan bioetanol sejatinya tidak hanya bergantung pada molases tebu saja. Produk bioetanol sendiri dapat diekstrak dari tanaman lainnya seperti sorgum salah satunya.
“Saya sepakat dengan Pak Soemitro, tidak cuma hanya molases sebetulnya. Kalau kita melihat tanaman-tanaman lain yang bisa sebagai substitusi daripada etanol, seperti misalkan sorgum itu juga bisa menjadi salah satu apa contoh yang kita bisa kembangkan,” kata dia.
Menurut Satya, produksi bioetanol di dalam negeri sendiri saat ini jumlahnya baru sekitar 40 ribu kiloliter (KL) per tahun. Artinya, apabila hanya mengandalkan molases tebu, perlu adanya penambahan areal lahan baru perkebunan tebu guna memenuhi kebutuhan untuk produksi bioetanol.
“Jadi di samping kalau kita masih mempertahankan penggunaan tebu, ya memang luas lahan itu merepresentasikan jumlah daripada molases ke depannya,” ujarnya. https://makcauhai.com/